HOME    ARTIKEL    DOLLAR    TUKARLINK

Tahun 2010 tercatat sebagai tahun paling mematikan di medan perang. Tak kurang dari 700 serdadu NATO tewas di Afganistan, jauh lebih buruk dibanding tahun sebelumnya, dengan jumlah korban 504 orang. Sebagian di antaranya tewas akibat bom rakitan dan bom mobil bunuh diri.

Untuk membantu para serdadu mendeteksi bom rakitan yang tersembunyi dari jarak aman, para ilmuwan di Princeton University, Amerika Serikat, mengembangkan sebuah teknologi sensor laser baru. Tak hanya mendeteksi bom, teknologi laser itu juga dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan lain untuk mengukur polutan lingkungan di udara dan gas rumah kaca.

“Kami mampu mengirim pulsa laser dan menghasilkan pulsa lain hanya dari udara,” kata Richard Miles, dosen teknik mesin dan aerospace di Princeton yang juga penulis laporan yang dipublikasikan dalam jurnal Science. “Sinar baliknya berinteraksi dengan molekul di udara dan membawa karakteristik molekul itu.”

Teknik baru ini berbeda dengan metode pencitraan laser jarak jauh sebelumnya karena berkas cahaya yang kembali bukan sekadar refleksi atau berkas cahaya yang menyebar. Berkas laser baru ini dihasilkan oleh atom oksigen yang elektronnya terlontar ke tingkat energi lebih tinggi. Laser udara tersebut jauh lebih kuat daripada laser pengukur jejak zat kimia di udara yang ada saat ini.

Dalam riset yang didanai oleh angkatan laut Amerika itu, Miles berkolaborasi dengan tiga peneliti lain, yaitu Arthur Dogariu dan James Michael dari Princeton, serta Marlan Scully dari Texas A&M University. Mereka mengembangkan metode pencitraan laser baru itu menggunakan sebuah pulsa laser ultraviolet yang difokuskan pada sebuah titik kecil udara, mirip cara sebuah kaca pembesar memfokuskan cahaya matahari ke sebuah titik panas.

Di dalam titik panas, daerah berbentuk silinder sepanjang satu milimeter, atom oksigen terlontar ketika elektronnya terpompa ke level energi tinggi. Ketika pulsa itu berakhir, elektron jatuh kembali dan memancarkan cahaya inframerah. Sebagian dari cahaya itu melintasi daerah silinder yang tereksitasi dan, ketika itu terjadi, sinar itu merangsang lebih banyak elektron berjatuhan, memperbesar dan mengatur cahaya menjadi sebuah berkas laser terang yang ditujukan kembali ke laser aslinya.

Para ilmuwan berencana menggunakan sebuah sensor untuk menerima berkas cahaya balik itu dan mencari kontaminan apa yang dijumpai berkas itu dalam perjalanan pulangnya. “Secara umum, ketika Anda ingin mengetahui apakah ada kontaminan di udara, Anda perlu mengumpulkan contoh udara dan mengetesnya,” kata Miles. “Tapi, dengan pencitraan jarak jauh, Anda tak perlu melakukannya.”

Teknologi laser baru ini dapat melacak bom di dalam tanah dengan mengobservasi udara di sekitarnya. “Jika ada bom yang dipendam di jalanan yang akan Anda lewati, Anda tentunya ingin mendeteksinya dengan mengambil contoh udara di sekitarnya. Mirip apa yang dilakukan anjing pengendus bom, namun dari jarak jauh,” ujarnya. “Dengan cara itu, Anda akan berada di luar zona ledakan ketika bom meledak. Ini sama seperti gas berbahaya, Anda tak ingin berada di lokasi. Gas rumah kaca dan polutan ada di atmosfer sehingga pengambilan contoh sulit dilakukan.”

Metode laser pencitraan jarak jauh yang umum digunakan saat ini, LIDAR (pendeteksian cahaya dan ranging), menghitung penyebaran sebuah berkas cahaya ketika berkas itu merefleksikan sebuah obyek di tempat jauh dan kembali ke sensor. Metode itu biasa dipakai untuk menghitung kerapatan awan dan polusi udara, tetapi tak dapat mengetahui identitas aktual dari partikel atau gas.
Variasi pendekatan ini dapat mengidentifikasi zat penyebab kontaminasi, namun tidak cukup sensitif untuk melacak jumlahnya maupun menentukan lokasi gas dengan akurat.

Cahaya balik dalam metode yang dikembangkan peneliti Princeton ribuan kali lebih kuat sehingga membuat mereka dapat menentukan seberapa banyak kontaminan di udara sekaligus identitas serta lokasi kontaminan tersebut.

Sinyal yang lebih kuat memungkinkan mereka mendeteksi kontaminan di udara dalam konsentrasi yang jauh lebih kecil. Ini sangat penting untuk mendeteksi jejak uap bahan peledak yang jumlahnya amat kecil. Setiap zat kimia eksplosif mengeluarkan berbagai gas, bergantung pada unsur penyusunnya, tapi jumlah gas yang tercipta sangatlah kecil.

Ketika para ilmuwan mengembangkan metode ini, mereka membayangkan sebuah alat yang cukup kecil untuk dipasang pada sebuah tank dan digunakan untuk memindai jalan raya serta melacak bom tersembunyi. Sejauh ini, mereka telah mendemonstrasikan proses itu dalam laboratorium pada jarak setengah meter. Mereka berencana meningkatkan jarak tempuh berkas sinar tersebut. Mereka juga bermaksud menyempurnakan sensitivitas teknik itu untuk mengidentifikasi kontaminan udara dalam jumlah kecil.

Di masa mendatang, mereka juga ingin mengkombinasikan laser dengan radar untuk pencitraan jarak jauh. “Kami ingin dapat mendeteksi kontaminan yang jumlahnya hanya sepersekian miliar dari molekul udara,” kata Miles. “Itu jumlah molekul yang sangat-sangat kecil untuk bisa ditemukan di antara molekul udara di alam.”